Hikayat Motor Kampret

Sebuah alasan gue lebih suka menebeng.

Robin Sunarto
10 min readDec 28, 2023
Gambar hanya pemanis.

Gue gak suka nyetir, apalagi nyetirin orang. Dari SMA hingga saat ini, gue lebih suka nebeng. Padahal, bagi seorang anak SMA, kendaraan adalah segalanya. Berangkat ke sekolah? Naik motor. Malam mingguan sama gebetan? Naik mobil. Melepas stres karena warna nilai di rapor macam darah semua? Naik odong-odong, lalu menabrakkan diri ke menara sutet.

Hal ini tentunya sangat lazim mengingat usia SMA adalah usia ideal untuk membuat Surat Izin Mengemudi (SIM). Jika umumnya hari spesial remaja adalah nembak gebetannya, maka hari spesial untuk anak baru 17 tahun adalah nembak SIM.

Namun, selama ini gue memang selalu meremehkan pentingnya kemampuan mengemudi. Prinsip gue, selagi masih ada transportasi umum untuk digunakan dan teman untuk ditebengin, gue gak butuh kemampuan mengemudi.

Bukan tanpa alasan gue mempertahankan prinsip ini. Pertama, biaya yang gue keluarkan jauh lebih hemat kalau menggunakan transportasi umum atau nebeng. Kedua, gue muak dengan jalanan Jakarta yang memancing emosi. Ketiga, gue memang malas aja sih buat belajar nyetir.

Namun, akhirnya gue belajar mengendarai motor karena tekanan teman-teman gue. Pada suatu liburan, gue bersama teman-teman SMA pergi ke Jogja dan menyewa motor di sana. Sebagai tebengers (sebutan untuk para tukang nebeng) sejati, sudah pasti kerjaan gue hanya nebeng. Di saat teman-teman gue yang lain punya penumpang yang bisa dijadikan co-driver, Putra—tebengan gue—punya gue yang mentok-mentok cuma bisa dijadikan navigator, itu pun sering bingung cara baca flyover di Google Maps.

“Bin, lu tuh udah gede, masa nggak bisa bawa motor? Kalah lu sama bocil-bocil deket rumah gue.” Putra mempertanyakan kedewasaan gue.

“Ya, jangan disamain gitu dong,” kata gue. “Rumah lu kan di Priok. Kalau pun lu bilang ada bocil udah bisa ganti oli samping kapal juga gue percaya.”

“Kebanyakan alesan lu. Coba lu pikir, kalau lu punya cewek, mau lu ajak bucin pakai apa coba?” tanya Putra.

Awalnya, pertanyaan Putra ingin gue jawab dengan, “Ya, nebeng lah,” hingga gue sadar bahwa bucin sambil nebeng akan menurunkan martabat gue sebagai cowok yang gak seberapa ini. Gebetan gue akan ngomongin gue ke teman-temannya. Teman-temannya akan ngomongin gue ke orang tuanya. Orang tuanya akan ngomongin gue ke Jokowi. Kenapa Jokowi? Gak paham juga sih, banyak aja orang laporan di kolom komentar Instagram Jokowi.

Sejak saat itu, akhirnya gue memutuskan untuk belajar naik motor. Langkah pertama gue adalah meminta bokap untuk mengajarkan gue cara naik motor. Belakangan gue baru menyadari, itu adalah langkah yang salah besar.

Aturan pertama untuk belajar motor adalah: harus punya motor. Ya, gak harus punya juga, sih. Pinjam juga boleh asal dikembalikan karena kalau enggak itu namanya: laknat.

Berhubung motor di rumah gue adalah RX King milik Bokap yang kalau hancur selagi gue pakai belajar akan membuat gue dicoret dari Kartu Keluarga, Bokap akhirnya dengan bijak membeli sebuah motor.

Harapan gue tentu saja jatuh pada sebuah motor matic baru, plat masih berwarna putih, jok masih terbungkus rapi, lengkap dengan abang-abang dealer-nya dalam bungkus juga. Tapi, semesta sepertinya mengingatkan gue untuk tidak bermimpi terlalu tinggi.

Penampakan si motor kampret yang kini sudah pensiun.

Jauh dari harapan, motor yang dibawa Bokap ke rumah adalah sebuah Kymco butut. Gue nggak punya masalah dengan merek motor apapun. Gue cuma punya masalah dengan motor yang dari penampilannya seperti habis dipakai berkendara dari Jakarta ke Mesir, terus dilanjut menyeberang ke Brazil via Samudera Atlantis. Gue hanya bisa menelan ludah ketika Bokap menunjukkan motor itu.

“Oke punya, nih. Biar body-nya gini, tapi kalau jalan masih ngacir,” kata Bokap, bangga. Mungkin maksudnya membuat gue ngacir lebih cepat ke dalam kubur.

Setelah beberapa kali gue coba gunakan untuk latihan, ternyata gue salah besar. Motor ini ternyata masih cukup enak digunakan, sama seperti kata Bokap — ngacir. Hampir setiap weekend gue membonceng Bokap keliling daerah rumah gue di Mangga Besar untuk latihan dan hampir setiap weekend juga Bokap mau jual gue ke tukang spare part saking culunnya gue dalam berkendara.

Akan tetapi, sebagaimana seharusnya seorang orang tua, Bokap gue tetap suportif dan sabar mengajarkan gue. Akhirnya, setelah kurang lebih sebulan, Bokap mengizinkan gue untuk berkendara sendiri. Sungguh gue terharu dengan kepercayaan dan keyakinannya pada gue, walaupun belakangan gue baru tahu bahwa Bokap memang udah nggak kuat aja diboncengin sama gue. Tapi, kepercayaan tetaplah kepercayaan dan akan selalu gue jaga.

Kini, gue sudah bisa mengendarai motor. Namun, gue tetaplah gue yang lebih suka nebeng sehingga baik motor maupun SIM gue menjadi nganggur dan motor latihan gue justru lebih sering digunakan Bokap.

Setiap Minggu pagi, Bokap sering ngotak-atik motor itu di teras rumah. Gue pikir, itu hanyalah kegiatan hobi Bokap yang memang anak STM to the core. Wajar saja kalau gue pikir motor itu aman karena selalu diservis mandiri oleh Bokap. Sayangnya, lagi-lagi gue salah besar. Motor itu ternyata tidak baik-baik saja.

Perjalanan untuk makan di warung kopi dekat SMA gue seharusnya menjadi kali terakhir gue mengendarai motor Kymco Bokap sore itu sebelum kembali ke rumah. Tapi, sebagaimana semesta, rencana bisa selalu berubah.

“Adik gue minggu depan camping, sekarang lagi nyari tas,” kata Mae, gebetan gue saat itu, lewat chat.

“Oh, perlu tas carrier? Gue ada, kok. Mau pinjam nggak?” tanya gue.

“Gue tanya adik gue dulu, ya,” jawab Mae. Kebetulan, adik Mae dan gue bersekolah di SMA yang sama sehingga gue sudah memiliki tas carrier yang biasa menjadi spek dalam kegiatan camping tahunan sekolah untuk anak-anak kelas 10.

“Boleh, deh, Bin. Makasih banget, ya,” kata Mae. “Nanti bawain aja hari Senin, gimana?”

Berhubung gue orang yang baik hati dan penuh tipu muslihat untuk modus, gue pun mengeluarkan kartu gue. “Eh, mau gue bawain aja nggak malam ini ke rumah lu? Mumpung gue lagi kosong, sekalian mampir sebentar.”

Kalau malam itu gue jadi mampir ke rumah Mae, itu akan menjadi momen kedua kalinya gue menginjakkan kaki di sana setelah sebelumnya gue ke sana untuk mengantar martabak dan numpang boker saking nervous-nya.

“Boleh, kok, tapi ngerepotin nggak?” tanya Mae. Hanya mengendarai motor dari rumah gue ke rumahnya di Kelapa Gading dengan membawa tas carrier di malam minggu yang macet? No problem at all. Semua akan gue lakukan atas nama cinta (baca: tolol).

Tidak ada yang aneh dari hari itu. Sejak pagi, gue sudah mengendarai motor Bokap untuk bimbingan tes masuk perguruan tinggi negeri di Tebet dan nongkrong di dekat SMA gue untuk makan mie. Tidak ada gejala apa pun yang menunjukkan bahwa motor ini tidak aman. Kesimpulannya, gue bisa bawa motor ini ke rumah Mae nanti malam.

Sepulang dari sana, gue izin ke Bokap untuk meminjamkan tas carrier ke teman gue malam itu. “Harus malam ini banget pinjeminnya?” tanya Bokap.

“Iya, mau sekalian main di sekolah,” jawab gue, tentu saja bohong. Kalau gue jawab mau meminjamkan tas ini ke adik dari gebetan gue di Kelapa Gading malam-malam sekalian ngapel, sepertinya itu akan jadi hari terakhir gue di rumah.

Bokap akhirnya hanya iya-iya saja dan mengizinkan gue pergi. Sama seperti biasanya, tidak ada yang aneh. Hanya hati gue saja yang berbinar-binar karena berpikir akan mengalami malam yang spesial tanpa tahu bahwa malam itu akan benar-benar menjadi malam yang luar biasa spesial.

Perhentian pertama terjadi ketika gue berada di persimpangan Sunter. Ketika lampu merah, motor tiba-tiba mati. Gue masih positive thinking dan biasa saja karena merasa tinggal men-starter ketika lampu hijau.

Lampu kuning menyala, kendaraan lain sudah mulai menancapkan gas, gue mulai panik karena motor gue nggak mau nyala saat gue starter. Begitu lampu hijau, gue makin panik karena motor gue masih mati, sedangkan bunyi klakson dari kendaraan di belakang gue mulai bersahutan. Nggak mau ditabrak dan mayatnya dibuang di Danau Sunter, gue akhirnya mendorong motor gue menyeberang persimpangan.

Gue berusaha untuk tetap tenang. Gue mencoba untuk men-starter motor gue pelan-pelan. Tidak berhasil. Gue coba lagi pelan-pelan. Masih tidak berhasil. Gue lihat ke bawah, mencoba menelaah akar masalah. Ternyata motor gue masih distandar. Oh, tololnya diriku.

Setelah standar gue naikkan dan beberapa upaya starter, motor kembali menyala. Gue bersujud syukur. Rasa takut sontak hilang seolah tertiup angin, berubah menjadi rasa percaya diri untuk menjalani malam minggu sepenuh hati. Gue pun langsung tancap gas melanjutkan perjalanan ke rumah Mae.

Perhentian kedua terjadi setelah gue sampai di ujung Danau Sunter. Motor gue kembali mati dan semakin parah karena meski standar sudah gue pastikan naik, motor gue tetap tidak menyala. Gue kembali panik. Gue coba untuk meng-kick start motor gue, tidak berhasil. Gue makin panik.

Pilihan pertama, gue nangis di sudut Danau Sunter malam-malam, berharap ada Fitra Eri tiba-tiba keluar dari dalam danau seperti Aquaman untuk membantu gue yang nggak paham otomotif. Pilihan kedua, gue menurunkan gengsi untuk menelpon Bokap dan meminta bantuan. Pilihan kedua tentu lebih masuk akal untuk dicoba.

“Halo, Pa?” Gue memberanikan diri menelepon Bokap.

“Halo, kenapa?” tanya Bokap.

“Ini motornya tiba-tiba mati, udah di-starter berkali-kali nggak bisa nyala. Gimana ya?” tanya gue dengan polosnya.

“Bisa itu, mah, gak apa-apa itu. Coba kick start aja.”

“Udah dicoba dari tadi, tetap nggak bisa.”

“Coba lagi,” kata Bokap dengan sangat empowering. Gue pun kembali mencoba untuk meng-kick start si motor dan setelah beberapa percobaan, si motor kampret ini akhirnya nyala.

“Eh, udah bisa nyala, nih. Makasih, Pa.” Gue benar-benar berterima kasih.

“Iya, sama-sama. Emang kamu di mana, sih?” tanya Bokap.

“Apa? Iya, udah dekat. Dadah.” Gue langsung mematikan telepon. Di saat itu, gue mulai bingung antara kembali ke rumah saja dengan alasan takut motor berulah lebih jauh atau melanjutkan perjalanan yang tinggal sebentar lagi. Lagi-lagi, rasa ragu gue hilang tertiup angin dan jiwa bucin gue semakin menggelora. Dengan bodohnya, gue memilih untuk tancap gas ke Kelapa Gading tanpa tahu bahwa hasilnya akan zonk total.

Sekitar 10 menit kemudian, gue tiba di perhentian ketiga sekaligus terakhir. Motor gue kembali mati di Jalan Boulevard Barat Raya, persis di tengah kemacetan Kelapa Gading yang tidak manusiawi saat malam minggu.

Agar tidak diklakson oleh pengendara lain, gue memutuskan untuk turun dari motor dan mendorongnya ke tepian. Jalan Boulevard Barat Raya saat itu masih ramai dengan proyek dan berbagai galian sehingga dipenuhi oleh lubang dan genangan air. Seakan hari gue tidak bisa lebih sial lagi, gue salah langkah dan tergelincir di salah satu genangan air. Tas carrier gue basah, motor gue basah, dan gue pun juga basah oleh air dan lumpur proyek. Ah, indahnya malam minggu.

Di titik itu, gue sadar bahwa perjalanan ini tidak lagi bisa dilanjutkan. Sudah saatnya untuk abort mission. Gue nggak bisa membayangkan skenario lebih bego dibanding seorang laki-laki ngapel ke rumah gebetannya nggak bawa martabak, tapi malah bawa semerbak bau lubang galian. Gue menepikan motor gue di salah satu gerbang masuk kompleks sekitar situ yang kebetulan tertutup.

Beberapa saat kemudian, gue kembali mencoba untuk menyalakan motor gue. Hasilnya, nihil. Kali ini gue sadar bahwa keajaiban sudah habis. Motor ini resmi mogok. Tidak satu pun abang-abang tukang nasi goreng di dekat sana yang mampu membantu menyalakan motor selain menyemangati gue dengan mengatakan, “Wah, ini mah udah umurnya, Dek.”

Satu-satunya opsi yang tersisa kali ini adalah phone a friend — menelepon Bokap dan meminta bala bantuannya.

Gue menelepon Bokap dengan pasrah, bersedia menanggung semua hasil kebodohan gue. Setelah menceritakan keadaan hopeless gue, akhirnya Bokap bertanya di mana gue berada.

“Di Kelapa Gading,” kata gue penuh kecemasan karena tahu posisi gue di keluarga ini sudah tidak aman.

“Hah, ngapain ke Kelapa Gading?” tanya Bokap, kaget. Bokap bukan penggemar Kelapa Gading mengingat kusutnya jalan di sini.

“Iya, intinya temenku ternyata nggak bisa datang ke sekolah. Jadi aku tawarin antar ke rumahnya aja,” jawab gue, masih ngeles.

Bokap sedikit marah pada gue. Wajar. Gue hanya mengiya-iyakan. Wajar juga. Setelah gue share lokasi gue, Bokap akhirnya berniat mendatangi dan membantu gue.

Di satu sisi, gue lega, tapi di sisi lain, gue masih cemas. Sembari ditemani motor kampret ini dan suara klakson kendaraan di sepanjang jalan, gue menjelaskan kondisi gue kepada Mae dan meminta maaf karena nggak jadi meminjamkan tas untuk adiknya malam itu.

“Gak apa-apa, masih bisa lusa, kok,” kata Mae. “Lagian, lu bohong segala, sih. Rasain, tuh, kena azab bohongin orang tua. Hahaha.”

Kami hanya menertawakan kebodohan gue malam itu. Satu lagi kejadian bodoh yang hanya bisa ditertawakan saja. Turns out, malam itu benar-benar menjadi malam yang spesial buat gue, meski dalam konotasi yang lain.

Sekitar 30 menit kemudian, Bokap tiba di lokasi dengan motor RX Kingnya. “Masih bisa ini, mah, kamu aja yang payah,” kata Bokap sambil berusaha untuk menyalakan si motor kampret.

Gue hanya diam saja, sudah lelah berusaha menghidupkan motor itu. Bokap mengotak-atik motor, seolah mencari sumber masalah motor itu tidak mau menyala dan berujung menyerah.

“Ini mah karburatornya kena, nih,” kata Bokap, enteng.

“Loh, jadi selama ini ada motornya bermasalah?” tanya gue, cengo.

“Iya, ini udah dari kemarin-kemarin coba diservis. Maklum, lah, motor sembilan ratus ribu, suka ngadat kalau jarang dipakai.” Bokap hanya tertawa.

Hah??? Sembilan ratus ribu???? Ini motor dibeli senilai sembilan ratus ribu??? Itu motor atau PS 2 second???

“Motor rusak ngapain dibeli?” tanya gue, jengkel.

“Justru itu, pemiliknya yang bego, jual dengan harga segitu. Orang masih ngacir, kok, motornya. Butuh dibenerin sedikit aja, nanti juga mantap lagi,” kata Bokap gue tanpa rasa bersalah. Gue hanya bisa mengelus dada. Memang, tidak pernah ada usia pasti untuk belajar bahwa tidak semua yang rusak bisa diperbaiki.

“Lagian, ngapain juga kamu jauh-jauh antar itu tas ke Kelapa Gading?” tanya Bokap.

“Yah, sekalian jalan-jalan aja, motoran,” jawab gue, ngeles lagi.

“Kalau teman kamu cewek, mah, gak apa-apa diantar sampai rumahnya. Kalau cowok, ngapain?”

Gue hanya melongo. Nggak mungkin, kan, Bokap bisa baca pikiran gue? Nggak mungkin, kan? Entahlah, gue sudah terlalu tepar untuk memikirkan.

Gue naik ke motor kampret itu, sedangkan Bokap naik ke RX Kingnya, kemudian menempelkan kakinya ke knalpot motor gue untuk mendorongnya.

Itu adalah momen pertama kalinya gue disetut. Namun, yang gue tahu pasti, itu juga akan jadi terakhir kalinya gue mengendarai si motor kampret dan yang lebih pasti lagi, itu akan menjadi kali terakhir gue berbohong pada Bokap.

--

--