Opera (Antariksa) van Pasundan

Tiga film Perang Bintang dalam tiga minggu masa tayang

Robin Sunarto
3 min readJan 30, 2022
Gambar hanya pemanis (karena beneran manis).

Pagi itu angin bertiup cukup kencang, bertabrakan dengan laju motor ojek online yang sedang gue tumpangi. Gigi gue yang tersembunyi di balik kaca helm hijau ini hanya bisa gemeretak, diiringi dengan tangan yang gemetaran sepanjang jalan. Maklum, ini kali pertama gue motoran pagi-pagi di Bandung, hanya dilapisi kaos dan kemeja flanel pula.

“Kuliah udah masuk, A?” tanya si Aa driver ojek, memecah keheningan. Thanks to angin dan helm, kalimat yang gue dengar hanyalah wash wesh wosh a.

“Kenapa, A?” tanya gue kembali.

“Kuliah udah mulai masuk, A?” Si Aa driver mengulang pertanyaannya dengan lebih tegas.

“Oh… Udah, A,” jawab gue.

“Kuliah jurusan apa, A?” Aa driver semakin kepo seperti keluarga yang gue temui ketika Imlek.

“Arsitektur, A.”

“Oh… Bagus tuh, A. Duitnya banyak,” jawab si Aa driver.

Gue hanya tertawa kecil, meratapi nasib bahwa duit arsitek sebenarnya gak sebanyak kelihatannya. Kalaupun bisa kaya, banjir duitnya akan kalah dari banjir air mata dan tetes darahnya.

Gak berapa lama, motor berhenti di depan gerbang utama ITB. Gue segera turun dan melepas helm yang gue kenakan. “Nuhun, A,” kata gue mengucapkan terima kasih dalam bahasa Sunda. Itu adalah satu-satunya kalimat yang gue bisa selain aing teh maung.

Setelah si Aa driver pergi meninggalkan gue (bused, galau amat, bang), gue berdiam diri di depan gerbang. Gue menatap gerbang yang dihiasi banyak tanaman berbunga ungu tersebut. Gila, udah satu setengah tahun gue mengenyam pendidikan di kampus ini secara daring.

Gue menarik napas dari udara segar Bandung pagi itu. Dengan sedikit beler akibat bangun pagi, gue memantapkan langkah untuk masuk ke dalam kampus gajah itu, hendak memulai sesuatu yang baru.

A new hope.

Selain memulai kepala dua dengan nyeri otot dan badan ngerentek akibat faktor umur, usia baru ini juga dimulai dengan banyak hal menyenangkan. Tiga minggu terakhir ini bisa jadi salah satu momen historis dalam hidup gue. Gue bisa kembali shooting untuk film pendek ketiga gue (yang tentu saja masih sangat amat teramat cacat), bisa ngampus secara luring (walau lebih banyak nongkrongnya), dan tentunya bisa nyari jodoh secara real (yang sedihnya masih terhalang tembok).

Selama dua tahun terakhir, gue sudah jarang berinteraksi dengan orang-orang baru. Lingkup pertemanan gue di kampus pun cukup terbatas, terutama karena hobi gue yang suka menggerutu akan sikap orang lain yang menurut gue aneh. Ya, gue memang orang yang sangat judgemental. Oleh karena itu, bisa kembali berinteraksi secara langsung dengan teman-teman dekat di kampus menyadarkan gue akan suatu hal — betapa berharganya pertemuan dengan orang-orang berharga.

Enam tahun di sekolah berbatang rasanya berjalan begitu cepat dan gak terasa. Ketika pandemi pecah hingga dua tahun, barulah gue merasa sangat kangen untuk sekadar bertukar jokes garing dengan teman-teman. Rasanya gue memang terlalu banyak take things for granted (ditulis dengan bahasa Inggris karena lebih sabi, bukan karena gue Jaksel).

Namun, roman sebulan terakhir ini gak didapat dengan cuma-cuma. Pandemi masih menyelimuti dan konsekuensi selalu menanti. Sebagai orang yang kini layak disebut Covidiot, gue paham betul bahwa pertemuan nan asik gue dengan teman-teman di kampus hanya akan berjalan sementara, setidaknya sampai wabah varian baru ini mereda.

Dalam skala yang lebih besar, mungkin apa yang gue lakukan selama sebulan ini rasanya gak layak untuk dilakukan. Namun, tanpa harus munafik, dalam hati kecil gue, pertemuan-pertemuan singkat ini adalah serpihan momen yang sangat berarti dalam hidup gue dan sangat layak untuk diperjuangkan. Kini, sudah saatnya gue berhenti sejenak untuk berdiam diri di tengah wabah yang kembali menerjang.

Empire strikes back.

Akhir kata, dengan segala konsekuensi yang harus dihadapi, percayalah badai pasti berlalu. Layaknya badai yang berkecamuk, akan ada orang-orang yang lari menyelamatkan dirinya sendiri, ada orang-orang yang rela tertinggal demi menyelamatkan orang lain, dan ada orang-orang yang masih di asik di kosan sambil ngemil batagor dengan santainya karena ternyata badainya ada di kota lain.

Mungkin di tengah badai ini, gue adalah orang yang masih haha hihi buka Twitter walaupun udah terbang muter-muter di dalam angin, menunggu diselamatkan oleh pahlawan tanpa tanda tangan.

Return of the Jedi (hopefully).

--

--