Orang-Orang di Persimpangan Tengah Jalan

Mengawali tahun terakhir kuliah yang semakin nyata

Robin Sunarto
5 min readAug 20, 2023
Gambar hanya pemanis.

“Jadi lu gak bakal balik ke Indo lagi nanti?” tanya gue keheranan.

“Maunya balik, sih,” jawab La Xiao sembari menyeberangkan gue di jalan. “Tapi, gue prefer kerja di sana. Lingkungan kerja dan gajinya lebih baik.” Kami berhenti sejenak, menunggu lampu merah di dekat Tugu Tani.

La Xiao adalah seorang teman dekat gue dari SMP yang kini sedang menempuh pendidikan tinggi di Manchester, Inggris. Setiap guru SMA yang kami temui selalu kagum dengan kata itu. Mungkin kalau di belakangnya ditambah kata ‘United’, reaksi mereka akan cenderung muntah-muntah.

Jurusan yang diambil La Xiao juga bukan sembarang jurusan. Orang-orang akan selalu heran dengan jurusan yang diambilnya.

“Jurusan apa?” tanya seorang guru SMA setelah tahu La Xiao kuliah di Manchester.

“Fisika, Bu,” jawab La Xiao.

“Oh…” Kata ‘Oh’ yang panjang selalu menjadi opsi terbaik guru-guru untuk merespons pilihan La Xiao. Mungkin mereka tahu jika La Xiao ingin bekerja di Indonesia dengan gelar tersebut, mentok-mentok hanya jadi guru honorer atau mungkin pelatih futsal anak TK. Itu pun karena dianggap pernah ke Manchester.

Jarak Indonesia-Inggris yang sangat amat jauh menyebabkan gue LDR dengan La Xiao (sebagai sahabat). Dua tahun lalu ketika La Xiao baru pindah, gue masih sering menghabiskan malam-malam gue untuk Zoom Meeting bersama dia dan dua orang teman gue lainnya. Sekarang, hal itu sudah sangat jarang dilakukan. Kami sibuk dengan urusan kami masing-masing.

Gue hanya berkesempatan bertemu La Xiao sekali setiap tahunnya, yaitu setiap libur musim panas kampusnya. Tahun lalu, gue sempat bertemu La Xiao sekali untuk mengisi sharing session alumni di SMA kami dan dilanjutkan dengan jalan-jalan ke Perpustakaan Taman Ismail Marzuki. Sisanya, gue harus kembali ke Bandung untuk mengurus osjur (orientasi studi jurusan).

Tahun ini, gue belum bisa rutin kembali ke Jakarta karena sedang magang di Bandung. Akhirnya, gue menyempatkan diri untuk reuni kecil-kecilan dengan La Xiao dan dua orang teman gue lainnya saat libur hari kemerdekaan. La Xiao kebetulan cukup gabut sehingga bisa menjemput gue di Stasiun Gambir paginya.

“Iya, sih. Kayaknya mending lu kerja di luar aja, Xiao,” kata gue mendukung pilihan La Xiao. Siapa pula yang tidak mendukung temannya untuk hidup lebih baik di luar negeri?

Setelah seharian main bareng dengan ketiga orang teman gue, gue pulang dengan sebuah perasaan, takut. Takut gak bisa ketemu dengan teman-teman gue lagi.

Gue teringat dengan teman-teman gue semasa TK dan SD. Ada dua orang, bahkan satu circle gue, yang dulu begitu dekat dengan gue, kini sudah lost contact begitu saja. Nggak pernah lagi ketemu ataupun komunikasi di media sosial. Salah satunya bahkan gak bisa gue cari media sosialnya.

Ada juga teman-teman SMP gue yang dulu akrab banget, tapi sekarang udah jarang komunikasi karena berbeda SMA dan kuliah, terutama mereka yang kuliah di luar negeri. Untungnya, mereka masih bisa di-reach lewat media sosial meski sangat jarang juga gue ngobrol dengan mereka.

Kini, kuliah ‘merampas’ sebagian besar liburan gue karena adanya kegiatan di tengah liburan seperti osjur dan magang. Gue gak pernah punya masalah dengan hal ini karena gue sadar betul bahwa ini adalah pilihan gue dan setiap pilihan punya konsekuensinya masing-masing. Untuk gue, konsekuensinya adalah gue akan jarang bertemu teman-teman lama gue.

Pikiran gue makin ke mana-mana. Kalau itu aja baru kuliah, gimana kalau udah kerja? Teman akan sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Sibuk mengejar karier, sibuk mengejar jodoh, sibuk mengejar maling kalau dia jadi polisi. Dengan tanggung jawab yang lebih besar, akan muncul konsekuensi yang lebih besar. Ada satu kesedihan yang muncul dalam diri gue: gue gak akan punya banyak kesempatan untuk bertemu teman gue, apalagi kalau dia bekerja di luar negeri seperti La Xiao.

Pertemuan setahun sekali, suatu saat bisa jadi lima tahun sekali atau mungkin lebih lama lagi. Satu tahun lagi, seharusnya gue lulus kuliah. Gue akan memasuki fase hidup yang baru, sebuah fase hidup yang lebih nyata dengan tanggung jawab dan konsekuensi yang lebih beragam.

Gue menyadari bahwa setiap fase hidup akan membawa gue untuk menemui orang-orang baru, orang-orang yang membentuk kita — orang-orang di persimpangan tengah jalan. Gue percaya setiap orang yang gue temui akan memberi nilai pada diri gue, entah melalui pengalaman positif ataupun negatif.

Orang-orang di persimpangan tengah jalan ini nggak akan selalu sempurna. Ada yang baik hati, rajin menabung, dan cinta lingkungan, tapi ada juga yang laknat dan pantas ditimbun semen. Tapi, baik-buruknya mereka akan selalu memberi warna baru dalam hidup ini.

Orang-orang di persimpangan tengah jalan akan menguras waktu dan tenaga. Oleh karena itu, gue selalu mencoba untuk mengurasi siapa saja yang cocok menjadi teman baik, teman saja, teman bangsat, teman tapi mesra, ataupun teman tapi bukan teman juga tapi nggak ada komitmen tapi ngakunya saling suka. Gue rasa hidup terlalu singkat bagi kita untuk mengurusi semua orang yang ada di dunia.

Orang-orang di persimpangan tengah jalan, sebagaimana namanya, akan punya pilihan jalannya masing-masing. Semuanya memiliki tujuan berbeda dengan kendaraan yang beragam. Tidak ada yang lebih benar ataupun lebih salah. Tidak ada yang lebih baik ataupun lebih buruk. Semua akan berjalan dan berpindah seiring waktu.

Untuk orang-orang di persimpangan tengah jalan, sukses selalu dengan jalan kalian masing-masing. Mungkin kita akan bergesekan, mungkin kita akan tertawa bersama, mungkin juga kita akan saling salip, atau mungkin juga kita akan saling menyukai. Meskipun begitu, pelan-pelan saja di jalan, tujuan kalian nggak akan ke mana-mana. Kalian sendiri yang menentukan bagaimana kalian akan mencapai tujuan tersebut.

Untuk orang-orang di persimpangan tengah jalan yang pernah gue temui, terima kasih sudah pernah mampir di titik yang sama dengan gue. Nggak semua pengalamannya manis seperti segelas es kopi susu keluarga FamilyMart. Ada juga yang pahit seperti segelas cold brew Starbucks. Tapi, apa pun rasanya saat dicicip, outcome-nya selalu sama: nikmat.

Untuk orang-orang di persimpangan tengah jalan, semoga kita diberi kesempatan untuk bertemu kembali di persimpangan selanjutnya dengan situasi yang lebih baik dan kondisi yang lebih ideal. Semoga akan ada waktu kita bertemu kembali dengan mimpi-mimpi yang sudah tercapai.

Untuk orang-orang di persimpangan tengah jalan, hati-hatilah selalu dalam melangkah.

--

--