Sejauh Ini, Ini yang Paling Jauh

Catatan akhir tahun 2023 yang gila dikit.

Robin Sunarto
5 min readDec 31, 2023
Gambar hanya pemanis.

Salah satu gejala pendewasaan (pret) yang gue alami di tahun ini adalah gue jadi lebih suka menyendiri. Gue suka nugas sendiri, nonton bioskop sendiri, boker juga sendiri. Aneh juga kalau boker barengan.

Akibat terlalu sering sendiri, nyokap gue jadi cemas dan berprasangka setiap gue nge-post Instagram story dengan cewek. Ada satu waktu gue nge-post foto berempat dengan teman kuliah yang salah satunya seorang cewek.

“Siapa tuh?” Nyokap membalas story gue. Gue pun membalas, “Temen.”

Nyokap gue gak mau kalah, membalas, “Temen atau temen?”

Gue pun gak mau kalah juga, membalas, “Temen. Kalau pacar yang sebelahnya, yang kumisan.” Sehabis gue jawab begitu, nyokap langsung menelepon, memastikan gue masih layak tinggal di Indonesia.

Tapi nyatanya, gue lebih suka menyendiri bukan karena nggak punya pasangan (itu jelas salah satu alasan juga, sih, tapi minor). Gue lebih suka menyendiri karena entah kenapa, gue jadi lebih menikmati momen-momen sendiri. Momen di mana gue bisa tenang sejenak dari kehidupan akademik dan organisasi kampus. Momen di mana gue bisa lepas sejenak dari tanggung jawab dan sekadar menikmati diri gue sendiri. Hmm.. Terdengar aneh, tapi gue yakin kalian paham maksudnya. Paham, kan, ya..?

Sekitar sebulan yang lalu, setelah beres dengan rangkaian agenda tengah tahun organisasi, gue memutuskan untuk vakum dari kampus selama seminggu. Nggak berorganisasi, nggak berakademik. Gue mendedikasikan satu minggu itu untuk ibadah sinema, waktu yang gue habiskan dengan nonton bioskop selama seminggu.

Keputusan itu membawa gue pada suatu sore di rooftop Paris Van Java (PVJ). Sehabis nonton Past Lives, gue lanjut berkeliling rooftop PVJ untuk pertama kalinya. Gue pun baru sadar bahwa ternyata rooftop PVJ itu random habis.

Air terjun yang randomly ada di PVJ.

Ada bianglala dan komidi putar? Oke, biasa aja. Ada air terjun?? Ya, masih bisa ditolerir, toh, di Singapura ada air terjun dalam bandara. Tapi, ada kuda??? Siapa yang kepikiran buat naruh kuda di rooftop sebuah mal??? Bisa dinaiki pula. Gue paham sih bahwa konsepnya rooftop garden, tapi gak bawa kuda juga kali.

Lagipula, gue juga mikir, gimana caranya bawa kuda ke rooftop? Naik eskalator? Nggak mungkin. Naik lift? Lebih nggak masuk akal, kecuali pakai logika tebak-tebakan Gimana cara masukin gajah ke dalam kulkas?

Gue berpikir, satu-satunya cara paling feasible untuk membawa kuda ke rooftop adalah dengan membawa bayi kuda dan membiarkan mereka bertumbuh kembang hingga gede dengan sendirinya di sana. Tapi, kan, bayi butuh netek, terus mereka netek ke siapa??? Masa iya netek ke kucing?? Kasihan juga, kan, tetek kucing kalau harus diemut pakai gigi kuda. Bisa-bisa teteknya bengkak kayak disengat tawon. Di titik ini, gue sudah merasa bahwa nggak semua pertanyaan perlu dijawab dan mencoba menyadarkan diri dari pikiran aneh.

Namun, bukannya tersadar, gue malah mempertanyakan hal lain. Kalau memang konsepnya rooftop garden, kenapa nggak ada hewan lain? Kenapa nggak ada kelinci atau rusa? Kenapa juga nggak membawa konsep peternakan seperti ciri khas tempat wisata ala Bandung. Coba bayangin, ada sapi dan kambing di rooftop PVJ, mungkin kita nggak perlu macet-macetan buat ke Farmhouse Lembang. Terus kalau sukses, PVJ bisa ekspansi dan membuka kolaborasi antara mal dengan kebun binatang. Keren, kan, bisa ngopi di Djournal sama lumba-lumba atau nyobain sarung tinju di Sports Station bareng kangguru?

Gue mulai sadar bahwa isi kepala gue makin nggak penting, tapi anehnya ia terus melompat ke sana ke mari. Semakin gue berjalan, semakin isi kepala gue melompat jauh, mempertanyakan dan membayangkan hal-hal nggak penting dari rooftop PVJ.

Tamannya sepi, seperti hati ini.

Jalan gue terhenti ketika gue tiba di depan sebuah taman yang gue rasa merupakan taman bunga matahari yang biasa gue lihat di foto-foto orang lain. Sayangnya, tidak ada bunga matahari bermekaran ketika gue di sana, begitu juga dengan bunga di hati.

Gue memutuskan untuk duduk sendirian di sebuah bangku taman, menyadari bahwa mungkin melompat adalah sifat natural manusia. Mungkin juga, mengambil lompatan adalah hal yang gue lakukan selama setahun ke belakang.

Gue membuka tahun ini dengan mengambil lompatan yang sejauh ini paling jauh selama kuliah, mencalonkan diri sebagai Ketua Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) dengan segala konsekuensi organisasinya yang beragam. Gue juga mengambil lompatan dengan berpacaran dengan perempuan (iya, perempuan, kok) yang berbeda keyakinan dengan konsekuensi akan berakhir di tengah jalan dengan alasan serupa (dan sayangnya, beneran berakhir).

Gue juga mengambil lompatan untuk melakukan kerja praktik di biro arsitektur. Meski memang merupakan salah satu prasyarat untuk lulus, tapi pengalamannya memberikan gue banyak pelajaran soal konsekuensi dari mengambil tanggung jawab. Di waktu yang sama, gue juga mencoba mengambil lompatan untuk mengikuti beberapa sayembara arsitektur dengan konsekuensi akan kalah karena persiapan yang tidak maksimal.

Masih ada banyak lompatan kecil yang gue ambil selama setahun ke belakang dengan berbagai konsekuensinya tersendiri. Tapi, kenapa harus melompat jika bisa berjalan santai? Gue jadi teringat kata-kata dari film Spider-Man: Into The Spider-VerseIt’s a leap of faith. Mungkin melompat adalah sebuah takdir dan kalau semua orang pada akhirnya akan mengambil lompatannya masing-masing, bisa jadi melompat juga merupakan wujud dari sebuah konsekuensi. Melompat adalah konsekuensi dari menjadi dewasa.

Orang-orang selalu bilang, ada saatnya berlari dan ada saatnya berjalan, seolah mengajarkan kita untuk sesekali berhenti mengejar kehidupan. Tapi, mereka nggak pernah bilang untuk berhenti melompat. Kenapa? Ya, mungkin karena melompat adalah hal alami yang harus dilakukan manusia. Lompatan-lompatan kecil akan membawa kita pada kesempatan-kesempatan baru, hal yang mungkin nggak pernah kita cari selama ini, tapi tanpa sadar ternyata kita butuhkan.

Konsekuensi dari melompat adalah jatuh — gagal. Ada banyak hal yang gagal gue lakukan selama menjadi Ketua UKM, lebih banyak lagi gue lakukan dalam menjalin hubungan. Begitu pun dengan akademik dan lomba, banyak pula kegagalan yang gue alami. Namun, ada satu hal yang gue sadari pasti. Sama halnya dengan melompat, jatuh juga hal yang alami atau bahkan harus dilalui untuk bisa melompat lebih tinggi, seperti ketika bermain trampolin. Untuk bisa melompat lebih tinggi, maka kita harus jatuh lebih dalam.

Sama halnya seperti kata pepatah, sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya akan jatuh juga, begitu juga dengan hidup ini — sepandai-pandainya gue kini melompati perasaan gue sendiri, pada akhirnya akan jatuh hati juga. Entah kepada siapa.

Selamat mengarungi 2024.

Selamat melompat lebih tinggi menuju segala kemungkinan yang tak pernah terpikirkan sebelumnya!

--

--